berita terbaru

Minggu, 11 Maret 2012

askep epilepsi


EPILEPSI
A.    PENGERTIAN
Epilepsi merupakan sindrom yang ditandai oleh kejang yang terjadi berulang- ulang. Diagnose ditegakkan bila seseorang mengalami paling tidak dua kali kejang tanpa penyebab (Jastremski, 1988).
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat reversibel (Tarwoto, 2007).
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi (Arif, 2000).
B.     ETIOLOGI
Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui (Idiopatik). Sering terjadi pada:
1.       Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
2.       Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
3.       Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol
4.       Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
5.       Tumor Otak
6.       Kelainan pembuluh darah
Ditinjau dari penyebabnya, epilepsy dibagi menjadi 2, yaitu :
1.       Epilepsi Primer (Idiopatik)
Epilepsi primer hingga kini tidak ditemukan penyebabnya, tidak ditemukan kelainan pada jaringan otak. Diduga bahwa terdapat kelainan atau gangguan keseimbangan zat kimiawi dan sel-sel saraf pada area jaringan otak yang abnormal.
2.       Epilepsi Sekunder (Simtomatik)
Epilepsi yang diketahui penyebabnya atau akibat adanya kelainan pada jaringan otak. Kelainan ini dapat disebabkan karena dibawah sejak lahir atau adanya jaringan parut sebagai akibat kerusakan otak pada waktu lahir atau pada masa perkembangan anak, cedera kepala (termasuk cedera selama atau sebelum kelahiran), gangguan metabolisme dan nutrisi (misalnya hipoglikemi, fenilketonuria (PKU), defisiensi vitamin B6), faktor-faktor toksik (putus alkohol, uremia), ensefalitis, anoksia, gangguan sirkulasi, dan neoplasma.



Penyebab spesifik epilepsi :
1.       Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu, seperti ibu menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, mengalami infeksi, minum alcohol, atau mengalami cidera.
2.       Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang mengalir ke otak (hipoksia), kerusakan karena tindakan.
3.       Cidera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak.
4.       Tumor otak merupakan penyebab epilepsy yang tidak umum terutama pada anak-anak.
5.       Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak.
6.       Radang atau infeksi pada otak dan selaput otak, yaitu encephalitis dan meningitis. Organ-organ dari CNS (otak dan medulla spinalis) dilapisi oleh tiga lapisan jaringan konektifyang disebut dengan meningen dan berisikan pia meter, arachnoid, dan durameter. Meningen ini membantu menjaga aliran darah dan cairan cerebrospinal. Struktur-struktur ini merupakn yang dapat terjadi meningitis, inflamasi meningitis, dan jika terjadi keparahan maka dapat menjadi encephalitis, dan inflamasi otak.
7.       Penyakit keturunan seperti fenilketonuria (FKU), sclerosis tuberose dan neurofibromatosis dapat menyebabkan kejang-kejang yang berulang.
8.       Kecerendungan timbulnya epilepsy yang diturunkan. Hal ini disebabkan karena ambang rangsang serangan yang lebih rendah dari normal diturunkan pada anak.

C.   PATOFISIOLOGI
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta neron. Pada hakekatnya tugas neron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik saraf yang berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan neurotransmiter. Acetylcholine dan norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA (gama-amino-butiric-acid) bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf dalam sinaps. Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik saraf di otak yang dinamakan fokus epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neron-neron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar kebagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang. Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :
         Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.
         Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara berlebihan.
         Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA).
         Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi selama aktivitas kejang. Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap asetikolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.

D.     PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.       Elektroensefalogram (EEG)
Digunakan  untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu serangan. EEG adalah pemeriksaan gelombang otak untuk meneliti ketidaknormalan gelombang. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk dilakukan pada kejang demam yang baru terjadi sekali tanpa adanya defisit (kelainan) neurologis. Tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa EEG yang dilakukan saat kejang demam atau segera setelahnya atau sebulan setelahnya dapat memprediksi akan timbulnya kejang tanpa demam di masa yang akan datang. Walaupun dapat diperoleh gambaran gelombang yang abnormal setelah kejang demam, gambaran tersebut tidak bersifat prediktif terhadap risiko berulangnya kejang demam atau risiko epilepsi.

2.       Neuroimaging
Yang termasuk dalam pemeriksaan neuroimaging antara lain:
a.       CT Scan
Digunakan untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan degeneratif serebral. Merupakan test gambaran otak pertama yang dianjurkan untuk banyak anak dan dewasa dengan kejang awal. Teknik gambaran ini cukup sensitive untuk berbagai tujuan.
Teknik penggambaran yang lebih sensitive dibandingkan dengan x-ray, mengikuti makna yang tinggi  terhadap struktur tulang dan jaringan-jaringan yang lunak.clear images dari orga-organ seperti otak, otot, struktur join, vena, dan arteri.
b.      MRI (magnetic resonance imaging) kepala.
Digunakan untuk melihat ada tidaknya neuropati fokal. MRI lebih disukai karena dapat mendeteksi lesi kecil (misalnya lesi kecil, malformasi pembuluh, atau jaringan parut) di lobus temporalis. Gambaran dari MRI dapat digunakan untuk persiapan pembedahan.
Kedua pemeriksaan tersebut tidak dianjurkan pada kejang demam yang baru terjadi untuk pertama kalinya.
3.       Kimia darah : hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.
4.       Pungsi Lumbar. Pungsi lumbar adalah pemeriksaan cairan serebrospinal (cairan yang ada di otak dan kanal tulang belakang) untuk meneliti kecurigaan meningitis. Pemeriksaan ini dilakukan setelah kejang demam pertama pada bayi.
5.       Pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan seperti pemeriksaan darah rutin, kadar elektrolit, kalsium, fosfor, magnsium, atau gula darah tidak rutin dilakukan pada kejang demam pertama. Pemeriksaan laboratorium harus ditujukan untuk mencari sumber demam, bukan sekedar sebagai pemeriksaan rutin.

E.       PENATALAKSANAAN
1.       Pencegahan
Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan untuk pencegahan epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsi yang digunakan sepanjang kehamilan. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama yang dapat dicegah. Melalui program yang memberi keamanan yang tinggi dan tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga mengembangkan pencegahan epilepsi akibat cedera kepala. Ibu-ibu yang mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar melahirkan, pengguna obat-obatan, diabetes, atau hipertensi) harus di identifikasi dan dipantau ketat selama hamil karena lesi pada otak atau cedera akhirnya menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin selama kehamilan dan persalinan. Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini, dan program pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti konvulsan secara bijaksana dan memodifikasi gaya hidup merupakan bagian dari rencana pencegahan ini.
Kejang yang tiba-tiba datang pada penderita epilepsi dapat dicegah dengan cara:
  Demam tinggi pada penderita dapat diatasi dengan cara memberi obat demam dengan penurun panas dan kompres dengan lap hangat (lebih kurang panasnya dengan suhu badan si penderita) selama kurang lebih 15 menit, bila mencapai 38.5 derajat celcius atau lebih.
  Jangan melakukan pengkompresan dengan lap yang dingin, karena dapat menyebabkan korslet di otak (akan terjadi benturan kuat karena atara suhu panas tubuh si penderita dengan lap pres dingin).
  Minum obat resep dokter secara teratur.
  Sediakan obat anti kejang lewat dubur di rumah jika kejang membuat penderita tidak mungkin meminum obat.
  Sedia selalu obat penurun panas di rumah seperti parasetamol.
2.       Pertolongan Pertama Untuk Epilepsi
  Hindarkan benturan kepala atau bagian tubuh lainnya dari benda keras, tajam atau panas. Jauhkan ia dari tempat / benda berbahaya. Jika pasien di tempat tidur, singkirkan bantal dan tinggikan pagar tempat tidur.
  Longgarkan bajunya. Bila mungkin, miringkan kepalanya kesamping untuk mencegah lidahnya menutupi jalan pernapasan. Jangan berusaha untuk membuka rahang yang terkatup pada keadaan spasme untuk memasukkan sesuatu.
  Biarkan kejang berlangsung. Jangan memasukkan benda keras diantara giginya, karena dapat mengakibatkan gigi patah. Jika aira mendahului kejang, masuka spatel lidah yang diberi bantalan diantara gigi-gigi untuk mengurangi lidah atau pipi tergigit.
  Penyandang akan bingung atau mengantuk setelah kejang. Biarkan penderita beristirahat.
  Laporkan adanya serangan pada kerabat terdekatnya. Ini penting untuk pemberian pengobatan oleh dokter.
  Bila serangan berulang-ulang dalam waktu singkat atau penyandang terluka berat, bawa ia ke dokter atau rumah sakit terdekat.
3.       Pengobatan
Pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. Penderita akan diberikan obat antikonvulsan untuk mengatasi kejang sesuai dengan jenis serangan. Penggunaan obat dalam waktu yang lama biasanya akan menyebabkan masalah dalam kepatuhan minum obat (compliance) serta beberapa efek samping yang mungkin timbul seperti pertumbuhan gusi, mengantuk, hiperaktif, sakit kepala, dll.
Penyembuhan akan terjadi pada 30-40% anak dengan epilepsi. Lama pengobatan tergantung jenis epilepsi dan etiologinya. Pada serangan ringan selama 2-3th sudah cukup, sedang yang berat pengobatan bisa lebih dari 5th. Penghentian pengobatan selalu harus dilakukan secara bertahap. Tindakan pembedahan sering dipertimbangkan bila pengobatan tidak memberikan efek sama sekali.
Farmakoterapi anti konvulsion untuk mengontrol kejang. Obat-obatan ini mengontriol kejang 50% sampai 60% mengalami kejang berulang dan memberikan control parsial 15% sampai 35%.
Pembedahan     untuk pasien epilepsi akibat tumor otak, abses, kista atau adanya anomali vaskuler. Tujuan pembedahan adalah untuk mengangkat jaringan otak sesedikit mungkin sehingga aktivitas kejang akan tereliminasi atau berkurang secara bermakna.
Jenis obat yang sering digunakan:
  Phenobarbital (luminal)→Paling sering dipergunakan, murah harganya, toksisitas rendah.
  Primidone (mysolin)→Di hepar primidone di ubah menjadi phenobarbital dan phenyletylmalonamid.

F.          EFEK/KOMPLIKASI
1.       Dampak pada anak-anak
  Long-Term General Effects. Secara umum untuk efek jangka lama dari kejang sangat bergantung pada penyebabnya.  Anak-anak yang mengalami epoilepsi akan berdampak terhadap kondisi yang spesifik (contohnya injuri kepala dan gangguan syaraf) mempunyai mortalitas lebih tinggi dari pada populsi normal.
  Effect on Memory and Learning. Secara umum anak-anak yang mengalami kejang akan lebih berdampak pada perluasan gangguan otak dan akan terjadi keburukan. Anak dengan kejang yag tidak terkontrol merupakan faktor resiko terjadinya kemunduran intelektual.
  Social and Behavioral Consequences. Gangguan pengetahuan dan bahasa, dan emosi serta gangguan tingkahlaku, terjadi pada sejumlah anak dengan beberapa sindrom epilepsy parsial. Anak-anak tersebut biasanya berpenapilan denagn sikap yang burk dibandingkan dengan anak-anak lainnya.

2.       Dampak pada dewasa
  Effect on Mental Functioning in Adults. Dampak dari epilepsy dewasa adalah pada fungsi mental yang tidak benar.
  Psychological Health.  Kira-kira 25-75% orang dewasa dengan epilepsy menunjukan tanda-tanda depresi. Orang dengan epilepsi mempunyai resiko tinggi untuk bunuh diri, setelah 6 bulan didiagnosa. Resiko bunuh diri terbesar diantara orang-orang yang terkena epilepsy dan mengarah pada kondisi psikiatrik seperti depresi, gangguan ansietas, skizoprenia, dan penggunaan alcohol kronik.
  Overall Health. Beberapa pasien dengan epilepsi menggambarkan dirinya dengan wajar atau buruk, orang dengan epilepsy juga melaporkan ambang nyeri yang lebih besar, depresi dan ansietas, serta gangguan tidur.faktanya kesehatan mereka dapat disamakan dengan orang dengan penyakit kronik, meiputi arthritis, masalah jantung, diabetes, dan kanker.
3.       Dampak pada kesehatan seksual dan reproduksi
  Effects on Sexual Function. Pasien dengan epilepsi akan mengalami gangguan sexual, meliputi impotensi pada laki-laki. Penyebab-penybab dari masalah-masalah tersebut kemungkinan emosi, indusi medikasi, atau menghasilkan perubahan pada tingkat hormone.
  Epilepsy pada childhood dapat mengakibatkan gangguan pada pengaturan hormone puberitas.
  Kejang yang persisten pada adult dapat dihubungkan dengan hormonal-hormonal lain dan perubahan neurologi yang berkontribusi terhada disfungsi seksualitas.
G.    ASUHAN KEPERAWATAN
 Pengkajian
a) Biodata : Nama ,umur, seks, alamat, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan, dan penanggungjawabnya.
Usia: Penyakit epilepsi dapat menyerang segala umur
Pekerjaan: Seseorang dengan pekerjaan yang sering kali menimbulkan stress dapat memicu terjadinya epilepsi.
Kebiasaan yang mempengaruhi: peminum alcohol (alcoholic)
b) Keluhan utama: Untuk keluhan utama, pasien atau keluarga biasanya ketempat pelayanan kesehatan karena klien yang mengalami penurunan kesadaran secara tiba-tiba disertai mulut berbuih. Kadang-kadang klien / keluarga mengeluh anaknya prestasinya tidak baik dan sering tidak mencatat. Klien atau keluarga mengeluh anaknya atau anggota keluarganya sering berhenti mendadak bila diajak bicara.
c) Riwayat penyakit sekarang: kejang, terjadi aura, dan tidak sadarkan diri.
d) Riwayat penyakit dahulu:
- Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
- Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
- Ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
- Tumor Otak
- Kelainan pembuluh darah
- demam,
- stroke
- gangguan tidur
- penggunaan obat
- hiperventilasi
- stress emosional
e) Riwayat penyakit keluarga: Pandangan yang mengatakan penyakit ayan merupakan penyakit keturunan memang tidak semuanya keliru, sebab terdapat dugaan terdapat 4-8% penyandang ayan diakibatkan oleh faktor keturunan.
f) Riwayat psikososial
- Intrapersonal : klien merasa cemas dengan kondisi penyakit yang diderita.
- Interpersonal : gangguan konsep diri dan hambatan interaksi sosial yang berhubungan dengan penyakit epilepsi (atau “ayan” yang lebih umum di masyarakat).
g) Pemeriksaan fisik (ROS)
1) B1 (breath): RR biasanya meningkat (takipnea) atau dapat terjadi apnea, aspirasi
2) B2 (blood): Terjadi takikardia, cianosis
3) B3 (brain): penurunan kesadaran
4) B4 (bladder): oliguria atau dapat terjadi inkontinensia urine
5) B5 (bowel): nafsu makan menurun, berat badan turun, inkontinensia alfi
6) B6 (bone): klien terlihat lemas, dapat terjadi tremor saat menggerakkan anggota tubuh, mengeluh meriang
h) Analisis Data
DS:kejang,
DO: pasien kejang (kaki menendang- nendang, ekstrimitas atas fleksi), lidah menjulur perubahan aktivitas listrik di otak
Keseimbangan terganggu gerakan tidak terkontrol dan resiko cidera
DS: sesak,
DO:apnea, cianosis gangguan nervus V, IX, X
lidah melemah
menutup saluran trakea
Adanya obstruksi Bersihan jalan napas tidak efektifDS: klien terlihat rendah diri saat berinteraksi dengan orang lain
DO:menarik diri Stigma masyarakat yang buruk tentang penyakit epilepsi atau “ayan”
Klien merasa rendah diri
Menarik diri Isolasi sosial

H.      Diagnosa Keperawatan
1) Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan keseimbangan).
2) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di endotrakea, peningkatan sekresi saliva
3) Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk penyakit epilepsi dalam masyarakat

Intervensi dan rasional
1) Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan keseimbangan).
Tujuan : Klien dapat mengidentifikasi faktor presipitasi serangan dan dapat meminimalkan/menghindarinya, menciptakan keadaan yang aman untuk klien, menghindari adanya cedera fisik, menghindari jatuh
Kriteria hasil : tidak terjadi cedera fisik pada klien, klien dalam kondisi aman, tidak ada memar, tidak jatuh
Intervensi Rasional
Observasi:
Identivikasi factor lingkungan yang memungkinkan resiko terjadinya cedera
Barang- barang di sekitar pasien dapat membahayakan saat terjadi kejang
Pantau status neurologis setiap 8 jam Mengidentifikasi perkembangan atau penyimpangan hasil yang diharapkan

Mandiri :
Jauhkan benda- benda yang dapat mengakibatkan terjadinya cedera pada pasien saat terjadi kejang
Mengurangi terjadinya cedera seperti akibat aktivitas kejang yang tidak terkontrol
Pasang penghalang tempat tidur pasien Penjagaan untuk keamanan, untuk mencegah cidera atau jatuh
Letakkan pasien di tempat yang rendah dan datar Area yang rendah dan datar dapat mencegah terjadinya cedera pada pasien
Tinggal bersama pasien dalam waktu beberapa lama setelah kejang Memberi penjagaan untuk keamanan pasien untuk kemungkinan terjadi kejang kembali
Menyiapkan kain lunak untuk mencegah terjadinya tergigitnya lidah saat terjadi kejang Lidah berpotensi tergigit saat kejang karena menjulur keluar
Tanyakan pasien bila ada perasaan yang tidak biasa yang dialami beberapa saat sebelum kejang Untuk mengidentifikasi manifestasi awal sebelum terjadinya kejang pada pasien

Kolaborasi:
Berikan obat anti konvulsan sesuai advice dokter
Mengurangi aktivitas kejang yang berkepanjangan, yang dapat mengurangi suplai oksigen ke otak
Edukasi:
Anjurkan pasien untuk memberi tahu jika merasa ada sesuatu yang tidak nyaman, atau mengalami sesuatu yang tidak biasa sebagai permulaan terjadinya kejang.
Sebagai informasi pada perawat untuk segera melakukan tindakan sebelum terjadinya kejang berkelanjutan
Berikan informasi pada keluarga tentang tindakan yang harus dilakukan selama pasien kejang Melibatkan keluarga untuk mengurangi resiko cedera
2) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di endotrakea, peningkatan sekresi saliva
Tujuan : jalan nafas menjadi efektif
Kriteria hasil : nafas normal (16-20 kali/ menit), tidak terjadi aspirasi, tidak ada dispnea
Intervensi Rasional
Mandiri :
Anjurkan klien untuk mengosongkan mulut dari benda / zat tertentu / gigi palsu atau alat yang lain jika fase aura terjadi dan untuk menghindari rahang mengatup jika kejang terjadi tanpa ditandai gejala awal.
Letakkan pasien dalam posisi miring, permukaan datar
Tanggalkan pakaian pada daerah leher / dada dan abdomen
Melakukan suction sesuai indikasi
Kolaborasi
Berikan oksigen sesuai program terapi
menurunkan resiko aspirasi atau masuknya sesuatu benda asing ke faring.
meningkatkan aliran (drainase) sekret, mencegah lidah jatuh dan menyumbat jalan nafas
untuk memfasilitasi usaha bernafas / ekspansi dada
Mengeluarkan mukus yang berlebih, menurunkan resiko aspirasi atau asfiksia.
Membantu memenuhi kebutuhan oksigen agar tetap adekuat, dapat menurunkan hipoksia serebral sebagai akibat dari sirkulasi yang menurun atau oksigen sekunder terhadap spasme vaskuler selama serangan kejang.
3) Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk penyakit epilepsi dalam masyarakat
Tujuan: mengurangi rendah diri pasien
Kriteria hasil:
- adanya interaksi pasien dengan lingkungan sekitar
- menunjukkan adanya partisipasi pasien dalam lingkungan masyarakat
Intervensi Rasional
Observasi:
Identifikasi dengan pasien, factor- factor yang berpengaruh pada perasaan isolasi sosial pasien
Memberi informasi pada perawat tentang factor yang menyebabkan isolasi sosial pasien
Mandiri
Memberikan dukungan psikologis dan motivasi pada pasien
Dukungan psikologis dan motivasi dapat membuat pasien lebih percaya diri

Kolaborasi:
Kolaborasi dengan tim psikiater
Konseling dapat membantu mengatasi perasaan terhadap kesadaran diri sendiri.
Rujuk pasien/ orang terdekat pada kelompok penyokong, seperti yayasan epilepsi dan sebagainya. Memberikan kesempatan untuk mendapatkan informasi, dukungan ide-ide untuk mengatasi masalah dari orang lain yang telah mempunyai pengalaman yang sama.
Edukasi:
Anjurkan keluarga untuk memberi motivasi kepada pasien
Keluarga sebagai orang terdekat pasien, sangat mempunyai pengaruh besar dalam keadaan psikologis pasien
Memberi informasi pada keluarga dan teman dekat pasien bahwa penyakit epilepsi tidak menular Menghilangkan stigma buruk terhadap penderita epilepsi (bahwa penyakit epilepsi dapat menular).
I.         Evaluasi
1) Pasien tidak mengalami cedera, tidak jatuh, tidak ada memar
2) Tidak ada obstruksi lidah, pasien tidak mengalami apnea dan aspirasi
3) Pasien dapat berinteraksi kembali dengan lingkungan sekitar, pasien tidak menarik diri (minder)




































DAFTAR PUSTAKA


1. Bruner & Suddarth, 1997, Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, ECG- Kedokteran, Jakarta.
2. Sylvia Price & Wilson, 1995, Pathofisiologi, Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, ECG-Kedokteran,     Jakarta.

3. Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan, 1995, Asuhan Keperawatan pada Klien Gangguan Sistem Persyarafan, DEPKES, Jakarta.
4. (http://www.blogdokter.net/2009/06/20/epilepsi/  diakses 29 Oktober 2010, 11:53)










Tidak ada komentar:

Posting Komentar

gabung yuk