EPILEPSI
A. PENGERTIAN
Epilepsi
merupakan sindrom yang ditandai oleh kejang yang terjadi berulang- ulang.
Diagnose ditegakkan bila seseorang mengalami paling tidak dua kali kejang tanpa
penyebab (Jastremski, 1988).
Epilepsi
adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang akibat
lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat reversibel (Tarwoto,
2007).
Epilepsi
adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang
dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik
abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi
(Arif, 2000).
B.
ETIOLOGI
Penyebab pada kejang
epilepsi sebagian besar belum diketahui (Idiopatik). Sering terjadi pada:
1.
Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
2.
Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
3.
Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol
4.
Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
5.
Tumor Otak
6.
Kelainan pembuluh darah
Ditinjau dari
penyebabnya, epilepsy dibagi menjadi 2, yaitu :
1.
Epilepsi Primer (Idiopatik)
Epilepsi primer
hingga kini tidak ditemukan penyebabnya, tidak ditemukan kelainan pada jaringan
otak. Diduga bahwa terdapat kelainan atau gangguan keseimbangan zat kimiawi dan
sel-sel saraf pada area jaringan otak yang abnormal.
2.
Epilepsi Sekunder (Simtomatik)
Epilepsi yang
diketahui penyebabnya atau akibat adanya kelainan pada jaringan otak. Kelainan
ini dapat disebabkan karena dibawah sejak lahir atau adanya jaringan parut
sebagai akibat kerusakan otak pada waktu lahir atau pada masa perkembangan
anak, cedera kepala (termasuk cedera selama atau sebelum kelahiran), gangguan
metabolisme dan nutrisi (misalnya hipoglikemi, fenilketonuria (PKU), defisiensi
vitamin B6), faktor-faktor toksik (putus alkohol, uremia), ensefalitis,
anoksia, gangguan sirkulasi, dan neoplasma.
Penyebab
spesifik epilepsi :
1.
Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu, seperti ibu menelan
obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, mengalami infeksi, minum
alcohol, atau mengalami cidera.
2.
Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang mengalir
ke otak (hipoksia), kerusakan karena tindakan.
3.
Cidera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak.
4.
Tumor otak merupakan penyebab epilepsy yang tidak umum terutama pada anak-anak.
5.
Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak.
6.
Radang atau infeksi pada otak dan selaput otak, yaitu encephalitis dan
meningitis. Organ-organ dari CNS (otak dan medulla spinalis) dilapisi oleh tiga
lapisan jaringan konektifyang disebut dengan meningen dan berisikan pia meter,
arachnoid, dan durameter. Meningen ini membantu menjaga aliran darah dan cairan
cerebrospinal. Struktur-struktur ini merupakn yang dapat terjadi meningitis,
inflamasi meningitis, dan jika terjadi keparahan maka dapat menjadi
encephalitis, dan inflamasi otak.
7.
Penyakit keturunan seperti fenilketonuria (FKU), sclerosis tuberose dan
neurofibromatosis dapat menyebabkan kejang-kejang yang berulang.
8.
Kecerendungan timbulnya epilepsy yang diturunkan. Hal ini disebabkan karena
ambang rangsang serangan yang lebih rendah dari normal diturunkan pada anak.
C. PATOFISIOLOGI
Otak
merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus merupakan pusat
pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta neron. Pada
hakekatnya tugas neron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik saraf
yang berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat
zat yang dinamakan neurotransmiter. Acetylcholine dan norepinerprine ialah
neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA
(gama-amino-butiric-acid) bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas
listrik saraf dalam sinaps. Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber
gaya listrik saraf di otak yang dinamakan fokus epileptogen. Dari fokus ini
aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neron-neron di
sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer otak dapat
mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan demikian akan
terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar kebagian
tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya
kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas listrik
dapat merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya
akan menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian
akan terlihat manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.
Kejang terjadi akibat
lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang atau dari
jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang
sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak
tengah, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik,
sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang. Di
tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena
biokimiawi, termasuk yang berikut :
Instabilitas
membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.
Neuron-neuron
hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan apabila terpicu
akan melepaskan muatan menurun secara berlebihan.
Kelainan
polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam
repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam
gama-aminobutirat (GABA).
Ketidakseimbangan
ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu
homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron.
Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter
aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan
metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian disebabkan
oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama
kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan listrik
sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak
meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul
di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat
mungkin mengalami deplesi selama aktivitas kejang. Secara umum, tidak dijumpai
kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti histopatologik menunjang hipotesis
bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor
patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme
kalium dan asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat
peka terhadap asetikolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik, fokus-fokus
tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.
D.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.
Elektroensefalogram (EEG)
Digunakan
untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu serangan. EEG adalah
pemeriksaan gelombang otak untuk meneliti ketidaknormalan gelombang.
Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk dilakukan pada kejang demam yang baru
terjadi sekali tanpa adanya defisit (kelainan) neurologis. Tidak ada penelitian
yang menunjukkan bahwa EEG yang dilakukan saat kejang demam atau segera
setelahnya atau sebulan setelahnya dapat memprediksi akan timbulnya kejang
tanpa demam di masa yang akan datang. Walaupun dapat diperoleh gambaran
gelombang yang abnormal setelah kejang demam, gambaran tersebut tidak bersifat prediktif
terhadap risiko berulangnya kejang demam atau risiko epilepsi.
2.
Neuroimaging
Yang termasuk
dalam pemeriksaan neuroimaging antara lain:
a.
CT Scan
Digunakan untuk
mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan
degeneratif serebral. Merupakan test gambaran otak pertama yang dianjurkan
untuk banyak anak dan dewasa dengan kejang awal. Teknik gambaran ini cukup
sensitive untuk berbagai tujuan.
Teknik
penggambaran yang lebih sensitive dibandingkan dengan x-ray, mengikuti makna
yang tinggi terhadap struktur tulang dan jaringan-jaringan yang
lunak.clear images dari orga-organ seperti otak, otot, struktur join, vena, dan
arteri.
b.
MRI (magnetic resonance imaging) kepala.
Digunakan untuk
melihat ada tidaknya neuropati fokal. MRI lebih disukai karena dapat mendeteksi
lesi kecil (misalnya lesi kecil, malformasi pembuluh, atau jaringan parut) di
lobus temporalis. Gambaran dari MRI dapat digunakan untuk persiapan pembedahan.
Kedua
pemeriksaan tersebut tidak dianjurkan pada kejang demam yang baru terjadi untuk
pertama kalinya.
3.
Kimia darah : hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.
4.
Pungsi Lumbar. Pungsi lumbar adalah pemeriksaan cairan serebrospinal
(cairan yang ada di otak dan kanal tulang belakang) untuk meneliti kecurigaan
meningitis. Pemeriksaan ini dilakukan setelah kejang demam pertama pada bayi.
5.
Pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan
seperti pemeriksaan darah rutin, kadar elektrolit, kalsium, fosfor, magnsium,
atau gula darah tidak rutin dilakukan pada kejang demam pertama. Pemeriksaan
laboratorium harus ditujukan untuk mencari sumber demam, bukan sekedar sebagai
pemeriksaan rutin.
E.
PENATALAKSANAAN
1.
Pencegahan
Upaya sosial
luas yang menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan untuk pencegahan
epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan obat
antikonvulsi yang digunakan sepanjang kehamilan. Cedera kepala merupakan salah
satu penyebab utama yang dapat dicegah. Melalui program yang memberi keamanan
yang tinggi dan tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup
aman, tetapi juga mengembangkan pencegahan epilepsi akibat cedera kepala.
Ibu-ibu yang mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar
belakang sukar melahirkan, pengguna obat-obatan, diabetes, atau hipertensi)
harus di identifikasi dan dipantau ketat selama hamil karena lesi pada otak
atau cedera akhirnya menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin selama
kehamilan dan persalinan. Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan
kejang pada usia dini, dan program pencegahan kejang dilakukan dengan
penggunaan obat-obat anti konvulsan secara bijaksana dan memodifikasi gaya
hidup merupakan bagian dari rencana pencegahan ini.
Kejang yang
tiba-tiba datang pada penderita epilepsi dapat dicegah dengan cara:
Demam tinggi pada
penderita dapat diatasi dengan cara memberi obat demam dengan penurun panas dan
kompres dengan lap hangat (lebih kurang panasnya dengan suhu badan si
penderita) selama kurang lebih 15 menit, bila mencapai 38.5 derajat celcius
atau lebih.
Jangan melakukan
pengkompresan dengan lap yang dingin, karena dapat menyebabkan korslet di otak
(akan terjadi benturan kuat karena atara suhu panas tubuh si penderita dengan
lap pres dingin).
Minum obat resep dokter
secara teratur.
Sediakan obat anti
kejang lewat dubur di rumah jika kejang membuat penderita tidak mungkin meminum
obat.
Sedia selalu obat
penurun panas di rumah seperti parasetamol.
2.
Pertolongan Pertama Untuk Epilepsi
Hindarkan benturan
kepala atau bagian tubuh lainnya dari benda keras, tajam atau panas. Jauhkan ia
dari tempat / benda berbahaya. Jika pasien di tempat tidur, singkirkan bantal
dan tinggikan pagar tempat tidur.
Longgarkan bajunya.
Bila mungkin, miringkan kepalanya kesamping untuk mencegah lidahnya menutupi
jalan pernapasan. Jangan berusaha untuk membuka rahang yang terkatup pada
keadaan spasme untuk memasukkan sesuatu.
Biarkan kejang
berlangsung. Jangan memasukkan benda keras diantara giginya, karena dapat
mengakibatkan gigi patah. Jika aira mendahului kejang, masuka spatel lidah yang
diberi bantalan diantara gigi-gigi untuk mengurangi lidah atau pipi tergigit.
Penyandang akan bingung
atau mengantuk setelah kejang. Biarkan penderita beristirahat.
Laporkan adanya
serangan pada kerabat terdekatnya. Ini penting untuk pemberian pengobatan oleh
dokter.
Bila serangan
berulang-ulang dalam waktu singkat atau penyandang terluka berat, bawa ia ke
dokter atau rumah sakit terdekat.
3.
Pengobatan
Pengobatan
epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. Penderita akan diberikan obat
antikonvulsan untuk mengatasi kejang sesuai dengan jenis serangan. Penggunaan
obat dalam waktu yang lama biasanya akan menyebabkan masalah dalam kepatuhan
minum obat (compliance) serta beberapa efek samping yang mungkin timbul seperti
pertumbuhan gusi, mengantuk, hiperaktif, sakit kepala, dll.
Penyembuhan akan
terjadi pada 30-40% anak dengan epilepsi. Lama pengobatan tergantung jenis
epilepsi dan etiologinya. Pada serangan ringan selama 2-3th sudah cukup, sedang
yang berat pengobatan bisa lebih dari 5th. Penghentian pengobatan selalu harus
dilakukan secara bertahap. Tindakan pembedahan sering dipertimbangkan bila
pengobatan tidak memberikan efek sama sekali.
Farmakoterapi
anti konvulsion untuk mengontrol kejang. Obat-obatan ini mengontriol kejang 50%
sampai 60% mengalami kejang berulang dan memberikan control parsial 15% sampai
35%.
Pembedahan
untuk pasien epilepsi akibat tumor otak, abses, kista atau adanya anomali
vaskuler. Tujuan pembedahan adalah untuk mengangkat jaringan otak sesedikit
mungkin sehingga aktivitas kejang akan tereliminasi atau berkurang secara
bermakna.
Jenis obat yang
sering digunakan:
Phenobarbital
(luminal)→Paling sering dipergunakan, murah harganya, toksisitas rendah.
Primidone
(mysolin)→Di hepar primidone di ubah menjadi phenobarbital dan
phenyletylmalonamid.
F.
EFEK/KOMPLIKASI
1.
Dampak pada anak-anak
Long-Term
General Effects. Secara umum untuk efek jangka lama
dari kejang sangat bergantung pada penyebabnya. Anak-anak yang mengalami
epoilepsi akan berdampak terhadap kondisi yang spesifik (contohnya injuri
kepala dan gangguan syaraf) mempunyai mortalitas lebih tinggi dari pada populsi
normal.
Effect on Memory
and Learning. Secara umum anak-anak yang mengalami
kejang akan lebih berdampak pada perluasan gangguan otak dan akan terjadi
keburukan. Anak dengan kejang yag tidak terkontrol merupakan faktor resiko
terjadinya kemunduran intelektual.
Social and
Behavioral Consequences. Gangguan pengetahuan dan bahasa,
dan emosi serta gangguan tingkahlaku, terjadi pada sejumlah anak dengan
beberapa sindrom epilepsy parsial. Anak-anak tersebut biasanya berpenapilan
denagn sikap yang burk dibandingkan dengan anak-anak lainnya.
2.
Dampak pada dewasa
Effect on Mental
Functioning in Adults. Dampak dari epilepsy dewasa adalah
pada fungsi mental yang tidak benar.
Psychological
Health. Kira-kira 25-75% orang dewasa dengan
epilepsy menunjukan tanda-tanda depresi. Orang dengan epilepsi mempunyai resiko
tinggi untuk bunuh diri, setelah 6 bulan didiagnosa. Resiko bunuh diri terbesar
diantara orang-orang yang terkena epilepsy dan mengarah pada kondisi psikiatrik
seperti depresi, gangguan ansietas, skizoprenia, dan penggunaan alcohol kronik.
Overall Health.
Beberapa pasien dengan epilepsi menggambarkan dirinya dengan wajar atau buruk,
orang dengan epilepsy juga melaporkan ambang nyeri yang lebih besar, depresi
dan ansietas, serta gangguan tidur.faktanya kesehatan mereka dapat disamakan
dengan orang dengan penyakit kronik, meiputi arthritis, masalah jantung,
diabetes, dan kanker.
3.
Dampak pada kesehatan seksual dan reproduksi
Effects on
Sexual Function. Pasien dengan epilepsi akan mengalami
gangguan sexual, meliputi impotensi pada laki-laki. Penyebab-penybab dari
masalah-masalah tersebut kemungkinan emosi, indusi medikasi, atau menghasilkan
perubahan pada tingkat hormone.
Epilepsy pada childhood
dapat mengakibatkan gangguan pada pengaturan hormone puberitas.
Kejang yang persisten
pada adult dapat dihubungkan dengan hormonal-hormonal lain dan perubahan
neurologi yang berkontribusi terhada disfungsi seksualitas.
G.
ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian
a) Biodata : Nama ,umur, seks, alamat, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan, dan penanggungjawabnya.
Usia: Penyakit epilepsi dapat menyerang segala umur
Pekerjaan: Seseorang dengan pekerjaan yang sering kali menimbulkan stress dapat memicu terjadinya epilepsi.
Kebiasaan yang mempengaruhi: peminum alcohol (alcoholic)
b) Keluhan utama: Untuk keluhan utama, pasien atau keluarga biasanya ketempat pelayanan kesehatan karena klien yang mengalami penurunan kesadaran secara tiba-tiba disertai mulut berbuih. Kadang-kadang klien / keluarga mengeluh anaknya prestasinya tidak baik dan sering tidak mencatat. Klien atau keluarga mengeluh anaknya atau anggota keluarganya sering berhenti mendadak bila diajak bicara.
c) Riwayat penyakit sekarang: kejang, terjadi aura, dan tidak sadarkan diri.
d) Riwayat penyakit dahulu:
- Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
- Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
- Ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
- Tumor Otak
- Kelainan pembuluh darah
- demam,
- stroke
- gangguan tidur
- penggunaan obat
- hiperventilasi
- stress emosional
e) Riwayat penyakit keluarga: Pandangan yang mengatakan penyakit ayan merupakan penyakit keturunan memang tidak semuanya keliru, sebab terdapat dugaan terdapat 4-8% penyandang ayan diakibatkan oleh faktor keturunan.
f) Riwayat psikososial
- Intrapersonal : klien merasa cemas dengan kondisi penyakit yang diderita.
- Interpersonal : gangguan konsep diri dan hambatan interaksi sosial yang berhubungan dengan penyakit epilepsi (atau “ayan” yang lebih umum di masyarakat).
g) Pemeriksaan fisik (ROS)
1) B1 (breath): RR biasanya meningkat (takipnea) atau dapat terjadi apnea, aspirasi
2) B2 (blood): Terjadi takikardia, cianosis
3) B3 (brain): penurunan kesadaran
4) B4 (bladder): oliguria atau dapat terjadi inkontinensia urine
5) B5 (bowel): nafsu makan menurun, berat badan turun, inkontinensia alfi
6) B6 (bone): klien terlihat lemas, dapat terjadi tremor saat menggerakkan anggota tubuh, mengeluh meriang
h) Analisis Data
a) Biodata : Nama ,umur, seks, alamat, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan, dan penanggungjawabnya.
Usia: Penyakit epilepsi dapat menyerang segala umur
Pekerjaan: Seseorang dengan pekerjaan yang sering kali menimbulkan stress dapat memicu terjadinya epilepsi.
Kebiasaan yang mempengaruhi: peminum alcohol (alcoholic)
b) Keluhan utama: Untuk keluhan utama, pasien atau keluarga biasanya ketempat pelayanan kesehatan karena klien yang mengalami penurunan kesadaran secara tiba-tiba disertai mulut berbuih. Kadang-kadang klien / keluarga mengeluh anaknya prestasinya tidak baik dan sering tidak mencatat. Klien atau keluarga mengeluh anaknya atau anggota keluarganya sering berhenti mendadak bila diajak bicara.
c) Riwayat penyakit sekarang: kejang, terjadi aura, dan tidak sadarkan diri.
d) Riwayat penyakit dahulu:
- Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
- Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
- Ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
- Tumor Otak
- Kelainan pembuluh darah
- demam,
- stroke
- gangguan tidur
- penggunaan obat
- hiperventilasi
- stress emosional
e) Riwayat penyakit keluarga: Pandangan yang mengatakan penyakit ayan merupakan penyakit keturunan memang tidak semuanya keliru, sebab terdapat dugaan terdapat 4-8% penyandang ayan diakibatkan oleh faktor keturunan.
f) Riwayat psikososial
- Intrapersonal : klien merasa cemas dengan kondisi penyakit yang diderita.
- Interpersonal : gangguan konsep diri dan hambatan interaksi sosial yang berhubungan dengan penyakit epilepsi (atau “ayan” yang lebih umum di masyarakat).
g) Pemeriksaan fisik (ROS)
1) B1 (breath): RR biasanya meningkat (takipnea) atau dapat terjadi apnea, aspirasi
2) B2 (blood): Terjadi takikardia, cianosis
3) B3 (brain): penurunan kesadaran
4) B4 (bladder): oliguria atau dapat terjadi inkontinensia urine
5) B5 (bowel): nafsu makan menurun, berat badan turun, inkontinensia alfi
6) B6 (bone): klien terlihat lemas, dapat terjadi tremor saat menggerakkan anggota tubuh, mengeluh meriang
h) Analisis Data
DS:kejang,
DO: pasien kejang (kaki menendang- nendang, ekstrimitas atas fleksi), lidah menjulur perubahan aktivitas listrik di otak
Keseimbangan terganggu gerakan tidak terkontrol dan resiko cidera
DS: sesak,
DO:apnea, cianosis gangguan nervus V, IX, X
lidah melemah
menutup saluran trakea
Adanya obstruksi Bersihan jalan napas tidak efektifDS: klien terlihat rendah diri saat berinteraksi dengan orang lain
DO:menarik diri Stigma masyarakat yang buruk tentang penyakit epilepsi atau “ayan”
Klien merasa rendah diri
Menarik diri Isolasi sosial
DO: pasien kejang (kaki menendang- nendang, ekstrimitas atas fleksi), lidah menjulur perubahan aktivitas listrik di otak
Keseimbangan terganggu gerakan tidak terkontrol dan resiko cidera
DS: sesak,
DO:apnea, cianosis gangguan nervus V, IX, X
lidah melemah
menutup saluran trakea
Adanya obstruksi Bersihan jalan napas tidak efektifDS: klien terlihat rendah diri saat berinteraksi dengan orang lain
DO:menarik diri Stigma masyarakat yang buruk tentang penyakit epilepsi atau “ayan”
Klien merasa rendah diri
Menarik diri Isolasi sosial
H. Diagnosa Keperawatan
1) Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan keseimbangan).
2) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di endotrakea, peningkatan sekresi saliva
3) Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk penyakit epilepsi dalam masyarakat
1) Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan keseimbangan).
2) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di endotrakea, peningkatan sekresi saliva
3) Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk penyakit epilepsi dalam masyarakat
Intervensi dan rasional
1) Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan keseimbangan).
Tujuan : Klien dapat mengidentifikasi faktor presipitasi serangan dan dapat meminimalkan/menghindarinya, menciptakan keadaan yang aman untuk klien, menghindari adanya cedera fisik, menghindari jatuh
Kriteria hasil : tidak terjadi cedera fisik pada klien, klien dalam kondisi aman, tidak ada memar, tidak jatuh
1) Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan keseimbangan).
Tujuan : Klien dapat mengidentifikasi faktor presipitasi serangan dan dapat meminimalkan/menghindarinya, menciptakan keadaan yang aman untuk klien, menghindari adanya cedera fisik, menghindari jatuh
Kriteria hasil : tidak terjadi cedera fisik pada klien, klien dalam kondisi aman, tidak ada memar, tidak jatuh
Intervensi
Rasional
Observasi:
Observasi:
Identivikasi factor lingkungan yang memungkinkan
resiko terjadinya cedera
Barang- barang di sekitar pasien dapat membahayakan
saat terjadi kejang
Pantau status neurologis setiap 8 jam Mengidentifikasi perkembangan atau penyimpangan hasil yang diharapkan
Pantau status neurologis setiap 8 jam Mengidentifikasi perkembangan atau penyimpangan hasil yang diharapkan
Mandiri :
Jauhkan benda- benda yang dapat mengakibatkan
terjadinya cedera pada pasien saat terjadi kejang
Mengurangi terjadinya cedera seperti akibat
aktivitas kejang yang tidak terkontrol
Pasang penghalang tempat tidur pasien Penjagaan untuk keamanan, untuk mencegah cidera atau jatuh
Letakkan pasien di tempat yang rendah dan datar Area yang rendah dan datar dapat mencegah terjadinya cedera pada pasien
Tinggal bersama pasien dalam waktu beberapa lama setelah kejang Memberi penjagaan untuk keamanan pasien untuk kemungkinan terjadi kejang kembali
Menyiapkan kain lunak untuk mencegah terjadinya tergigitnya lidah saat terjadi kejang Lidah berpotensi tergigit saat kejang karena menjulur keluar
Tanyakan pasien bila ada perasaan yang tidak biasa yang dialami beberapa saat sebelum kejang Untuk mengidentifikasi manifestasi awal sebelum terjadinya kejang pada pasien
Pasang penghalang tempat tidur pasien Penjagaan untuk keamanan, untuk mencegah cidera atau jatuh
Letakkan pasien di tempat yang rendah dan datar Area yang rendah dan datar dapat mencegah terjadinya cedera pada pasien
Tinggal bersama pasien dalam waktu beberapa lama setelah kejang Memberi penjagaan untuk keamanan pasien untuk kemungkinan terjadi kejang kembali
Menyiapkan kain lunak untuk mencegah terjadinya tergigitnya lidah saat terjadi kejang Lidah berpotensi tergigit saat kejang karena menjulur keluar
Tanyakan pasien bila ada perasaan yang tidak biasa yang dialami beberapa saat sebelum kejang Untuk mengidentifikasi manifestasi awal sebelum terjadinya kejang pada pasien
Kolaborasi:
Berikan obat anti konvulsan sesuai advice dokter
Mengurangi aktivitas kejang yang berkepanjangan,
yang dapat mengurangi suplai oksigen ke otak
Edukasi:
Edukasi:
Anjurkan pasien untuk memberi tahu jika merasa ada
sesuatu yang tidak nyaman, atau mengalami sesuatu yang tidak biasa sebagai
permulaan terjadinya kejang.
Sebagai informasi pada perawat untuk segera
melakukan tindakan sebelum terjadinya kejang berkelanjutan
Berikan informasi pada keluarga tentang tindakan yang harus dilakukan selama pasien kejang Melibatkan keluarga untuk mengurangi resiko cedera
Berikan informasi pada keluarga tentang tindakan yang harus dilakukan selama pasien kejang Melibatkan keluarga untuk mengurangi resiko cedera
2) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
berhubungan dengan sumbatan lidah di endotrakea, peningkatan sekresi saliva
Tujuan : jalan nafas menjadi efektif
Kriteria hasil : nafas normal (16-20 kali/ menit), tidak terjadi aspirasi, tidak ada dispnea
Intervensi Rasional
Mandiri :
Anjurkan klien untuk mengosongkan mulut dari benda / zat tertentu / gigi palsu atau alat yang lain jika fase aura terjadi dan untuk menghindari rahang mengatup jika kejang terjadi tanpa ditandai gejala awal.
Tujuan : jalan nafas menjadi efektif
Kriteria hasil : nafas normal (16-20 kali/ menit), tidak terjadi aspirasi, tidak ada dispnea
Intervensi Rasional
Mandiri :
Anjurkan klien untuk mengosongkan mulut dari benda / zat tertentu / gigi palsu atau alat yang lain jika fase aura terjadi dan untuk menghindari rahang mengatup jika kejang terjadi tanpa ditandai gejala awal.
Letakkan pasien dalam posisi miring,
permukaan datar
Tanggalkan pakaian pada daerah leher
/ dada dan abdomen
Melakukan suction sesuai indikasi
Kolaborasi
Berikan oksigen sesuai program terapi
Berikan oksigen sesuai program terapi
menurunkan resiko aspirasi atau masuknya sesuatu
benda asing ke faring.
meningkatkan aliran (drainase) sekret, mencegah
lidah jatuh dan menyumbat jalan nafas
untuk memfasilitasi usaha bernafas / ekspansi dada
untuk memfasilitasi usaha bernafas / ekspansi dada
Mengeluarkan mukus yang berlebih, menurunkan resiko
aspirasi atau asfiksia.
Membantu memenuhi kebutuhan oksigen agar tetap
adekuat, dapat menurunkan hipoksia serebral sebagai akibat dari sirkulasi yang
menurun atau oksigen sekunder terhadap spasme vaskuler selama serangan kejang.
3) Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan
penyakit dan stigma buruk penyakit epilepsi dalam masyarakat
Tujuan: mengurangi rendah diri pasien
Kriteria hasil:
- adanya interaksi pasien dengan lingkungan sekitar
- menunjukkan adanya partisipasi pasien dalam lingkungan masyarakat
Intervensi Rasional
Observasi:
Tujuan: mengurangi rendah diri pasien
Kriteria hasil:
- adanya interaksi pasien dengan lingkungan sekitar
- menunjukkan adanya partisipasi pasien dalam lingkungan masyarakat
Intervensi Rasional
Observasi:
Identifikasi dengan pasien, factor- factor yang
berpengaruh pada perasaan isolasi sosial pasien
Memberi informasi pada perawat tentang factor yang
menyebabkan isolasi sosial pasien
Mandiri
Mandiri
Memberikan dukungan psikologis dan motivasi pada
pasien
Dukungan psikologis dan motivasi dapat membuat
pasien lebih percaya diri
Kolaborasi:
Kolaborasi dengan tim psikiater
Konseling dapat membantu mengatasi perasaan
terhadap kesadaran diri sendiri.
Rujuk pasien/ orang terdekat pada kelompok penyokong, seperti yayasan epilepsi dan sebagainya. Memberikan kesempatan untuk mendapatkan informasi, dukungan ide-ide untuk mengatasi masalah dari orang lain yang telah mempunyai pengalaman yang sama.
Edukasi:
Rujuk pasien/ orang terdekat pada kelompok penyokong, seperti yayasan epilepsi dan sebagainya. Memberikan kesempatan untuk mendapatkan informasi, dukungan ide-ide untuk mengatasi masalah dari orang lain yang telah mempunyai pengalaman yang sama.
Edukasi:
Anjurkan keluarga untuk memberi motivasi kepada
pasien
Keluarga sebagai orang terdekat pasien, sangat
mempunyai pengaruh besar dalam keadaan psikologis pasien
Memberi informasi pada keluarga dan teman dekat
pasien bahwa penyakit epilepsi tidak menular Menghilangkan stigma buruk
terhadap penderita epilepsi (bahwa penyakit epilepsi dapat menular).
I.
Evaluasi
1) Pasien tidak mengalami cedera, tidak jatuh, tidak ada memar
2) Tidak ada obstruksi lidah, pasien tidak mengalami apnea dan aspirasi
3) Pasien dapat berinteraksi kembali dengan lingkungan sekitar, pasien tidak menarik diri (minder)
1) Pasien tidak mengalami cedera, tidak jatuh, tidak ada memar
2) Tidak ada obstruksi lidah, pasien tidak mengalami apnea dan aspirasi
3) Pasien dapat berinteraksi kembali dengan lingkungan sekitar, pasien tidak menarik diri (minder)
DAFTAR PUSTAKA
1. Bruner & Suddarth, 1997, Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, ECG- Kedokteran, Jakarta.
2. Sylvia Price & Wilson, 1995, Pathofisiologi, Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, ECG-Kedokteran, Jakarta.
3. Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan, 1995, Asuhan Keperawatan pada Klien Gangguan Sistem Persyarafan, DEPKES, Jakarta.
4.
(http://www.blogdokter.net/2009/06/20/epilepsi/ diakses 29 Oktober 2010, 11:53)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
gabung yuk